Bagi seorang muslim rumah tangga bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan akan hidup berpasangan dengan lawan jenis, memiliki keturunan. Namun, ia lebih dari itu. Rumah tangga merupakan sarana menjalankan syariat Allah (Baca: ibadah) sekaligus sebagai sarana dakwah dalam menegakkan syariat Allah swt.
Sebagai sebuah ibadah, menikah merupakan sarana untuk menjaga diri dari kemaksiatan dan menyempurnakan agama dan keimanannya. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
"Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka
menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan kelamin. Bagi yang
belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya."
(HR. Bukhari No. 4779).
“''Barangsiapa menikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh iman, karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.'' (HR Thabrani).
"Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya" (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman)
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengatakan,
وقال صلى الله عليه وسلم من تزوج فقد أحرز شطر دينه فليتق الله في الشطر الثاني وهذا أيضاً إشارة إلى أن فضيلته لأجل التحرز من المخالفة تحصناً من الفساد فكأن المفسد لدين المرء في الأغلب فرجه وبطنه وقد كفى بالتزويج أحدهما
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang menikah, berarti telah melindungi setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah agamanya yang kedua.” Ini merupakan isyarat tentang keutamaan nikah, yaitu dalam rangka mlindungi diri dari penyimpangan, agar terhinndar dari kerusakan. Karena yang merusak agama manusia umumnya adalah kemaluannya dan perutnya. Dengan menikah, maka salah satu telah terpenuhi. (Ihya Ulumiddin, 2/22).
Demikian pula penjelasan yang disampaikan Al-Qurthubi. Beliau mengatakan,
من تزوج فقد استكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الثاني. ومعنى ذلك أن النكاح يعف عن الزنى، والعفاف أحد الخصلتين اللتين ضمن رسول الله صلى الله عليه وسلم عليهما الجنة فقال: من وقاه الله شر اثنتين ولج الجنة ما بين لحييه وما بين رجليه.
“Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.” Makna hadis ini bahwa nikah akan melindungi orang dari zina. Sementara menjaga kehormatan dari zina termasuk salah satu yang mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga. Beliau mengatakan, ‘Siapa yang dilindungi Allah dari dua bahaya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, yaitu dilindungi dari dampak buruk mulutnya dan kemaluannnya.’ (Tafsir al-Qurthubi, 9/327).
"Dari Aisyah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang lainnya, siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu tameng baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Sebagai dakwah, rumah tangga menjadi sarana bagi seorang muslim untuk mengingatkan pasangannya, mendidik generasi muslim, menjadi teladan bagi orang-orang di sekelilingnya, sehingga diharapkan dapat terbentuknya masyarakat madani.
Hal ini sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya, ''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.'' (QS 3: 110).
Dalam ayat lainnya Allah SWT menegaskan, ''Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) pada yang baik, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.'' (QS 9: 71).
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur ayat 21).
Rumah tangga pasangan muslim bisa dianggap sebagai zakat kehidupan. Karena di dalamnya mereka berpikir untuk memberikan yang terbaik, berkorban untuk kebahagiaan bersama pasangan cinta, mengurangi hak-hak pribadi untuk bisa menikmati kebersamaan, membersihkan hati dan melapangkan dada dengan segala kelebihan dan kekurangan pasangan, mengambil kekayaan potensi yang dimiliki dan memberikannya sebagai prestasi keshalihan bersama.
Setiap orang selalu memiliki kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan istri atau suami, bagaimanapun, adalah sarana dakwah bagi pasangan masing-masing. Hal ini agar timbul dorongan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan yang dimiliki pasangan.
Alquran menjelaskan hubungan suami-istri dengan ungkapan bahasa seperti sebuah pakaian. Artinya, istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri. Ini membawa konsekuensi keduanya harus berusaha saling menjaga dan menasihati. Allah SWT berfirman, ''Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.'' (QS 2: 187)
Dari rumahlah semuanya akan berawal. Suasana hangat di rumah akan membawa semangat untuk menebar benih-benih kebaikan disekitar, sebagai perwujudan keluarga yang memiliki visi dan misi kontributif mengembalikan peradaban dengan “Khairu Ummah” sebagai tujuan dan menjadi arahan serta keteladanan.
Neneng Munajah dalam jurnalnya mengutip pendapat Khalid ibn Hamid al-Hazimi, bahwa karena keluarga dipandang sebagai pusat dakwah dan pendidikan agama yang mula-mula (al-mahdhan al-awwal). Setiap manusia, siapa pun dia, pasti menimba dan menyerap pemikiran, ajaran, dan nilai-nilai agama yang hidup dalam keluarga. Maka, keluarga bisa menjadi sumber kebaikan manusia (mashdar khair li al-insan), tetapi sebalinya, bisa juga menjadi pangkal yang merusak nilai-nilai moral dan agama (mi`wal hadam li al-din wa al-akhlaq).
Dalam kutipan lainnya, neneng munajah menambahkan pendapat dari Ulama besar Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi bahwa keluarga dipandang sebagai batu-bata pertama (al-labinah al-ula) bagi lahirnya masyarakat Islam. Dengan kata lain, keluarga adalah miniatur dari komunitas dan masyarakat Islam. Di sini, tidak dapat dibayangkan lahir masyarakat Islam, tanpa terlebih dahulu terbentuk keluaarga-keluarga Islam. Maka keluarga yang baik (al-Usrah al-Shalihah), menurut, Yusuf Qardhawi, merupakan pangkal dari masyarakat yang baik (Rakiz al-Mujtama al-Shalih), sekaligus benih utama dari umat yang baik pula (Nuwwat al-Ummah al-Shalihah).
Singkatnya, seorang muslim seharusnya bisa menjadikan rumah tangganya sebagai sarana dakwah yang efektif. Baik antar pasangan, orang tua kepada anak-anak, maupun sebaliknya. Atau dengan kata lain, dakwah seharusnya menjadi salah satu tujuan dalam berumah tangga.
Wallahu a'lam bis-shawab.
Referensi Tambahan:
Neneng Munajah, "DAKWAH DALAM KELUARGA: Memperkuat Ketahanan Keluarga Di Era Globalisasi".
No comments:
Post a Comment