Profesi dokter sampai saat ini masih belum mendapatkan perlakuan sebagaimana profesi lain di negeri ini. Berbagai aturan dikeluarkan untuk profesi ini dengan alasan tenaganya sangat dibutuhkan untuk memperbaiki derajat kesehatan masyarakat. Mulai dari wajib kerja sarjana ditahun tujuh puluhan, dilanjutkan dengan PTT ditahun delapan puluhan dan saat ini harus ikut intership sebelum bisa jadi dokter mandiri.
Di sisi lain, banyak profesi yang dengan enak melenggang menjalani karirnya setelah selesai di wisuda. Begitu selesai pendidikan sarjana selama 4 tahun, mereka dapat mencari kerja atau membuka usaha tanpa harus ada kewajiban lain lagi sebagaimana yang dijalani dokter.
Banyak kisah heroik yang didengar dari tempat terisolir dimana dokter melakukan pengabdian. Mereka harus berjuang bahkan menyabung nyawa untuk meberikan layanan yang terbaiknya bagi masyarakat diwilayah kerjanya. Walaupun mendapatkan imbalan materi tidak memadai dan tidak jarang hanya dengan ucapan terimakasih, namun mereka tetap bertahan sampai waktu periode pengabdian yang diwajibkan selesai.
Ketika mereka kembali dari pengabdian, perjuangan masih panjang. Disaat profesi lain sudah meniti karir, mereka baru akan memilih mau berkarir dimana ?
Dalam perjalanannya selama ini dokter tidak banyak protes. Semua dijalani sebagai bentuk pengabdian pada negara dan bangsa ini.
Namun saat ini, para dokter di tanah air merasa terusik ketika profesi mereka semakin ditekan. Dengan alasan untuk bisa memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat, dokter yang akan ditempatkan ditengah masyarakat sebagai pemberi pelayanan yang pertama atau pelayanan primer harus mengikuti tambahan pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) selama 2 tahun. Walaupun dalam Undang undang No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran disebutkan DLP setara dengan dokter spesialis-1 namun sebagai dokter layanan primer penghargaan untuk mereka tidak lebih dari sebagai seorang dokter umum.
Dari sisi waktu, kesempatan dokter untuk mulai bisa berkarir semakin lama. Mulai dari pendidikan S-1 yang harus ditempuh selama 4 tahun, sampai kepaniteraan klinik senior atau ko-asisten (clerkship) di Rumah Sakit sebagai pendidikan profesi selama 2 tahun, sudah menghabiskan waktu selama 6 tahun. Setelah lulus pendidikan profesi dan mendapat gelar dokter, ia harus mengikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang diselenggarakan oleh Komite Bersama Kolegium Dokter Indonesia (KDI) di bawah IDI. Dengan bekal Sertifikat Kompetensi Dokter, seorang dokter dapat mengikuti program internship selama 1 tahun. Selesai intership agar bisa memberikan pelayanan kemasyarakat, seorang dokter harus mengikuti program pendidikan DLP selama 2 tahun.
Jika dijalani tanpa jeda, maka seseorang untuk bisa menjadi dokter mandiri, membutuhkan waktu 9 tahun. Dalam kenyataannya, untuk masuk intership saja, para dokter muda yang masih dianggap belum mandiri harus menunggu sampai 1 tahun yang berarti menambah perpanjangan waktu. Ditambah lagi dengan masa antri untuk ikut ujian kompetensi, menunggu waktu intership dan antria ujian masuk program pendidikan DLP, maka waktu yang dibutuhkan semakin panjang. Sebuah kebijakan yang terasa tidak adil, ketika masa pendidikan diperpanjang dan separuh usia hanya untuk pendidikan, kemudian bisa bisa berkarir.
Belum lagi uang yang dihabiskan untuk menempuh pendidikan. Jika orang tua yang anaknya mengikuti pendidikan dipreofesi lain hanya mengeluarkan biaya sampai tamat S-1 ( + 4 tahun), maka orang tua yang anaknya ingin jadi dokter harus merogoh kocek minimal tambah 5 tahun lagi guna pembiayaan sampai anaknya tamat pendidikan DLP.
Kemudian muncul pernyataan. Untuk bisa memberikan layanan yang lebih baik di tingkat layanan primer, harus ditingkatkan kompetensi dokternya. Pernyataan ini tidak keliru. Tapi yang dirasa tidak adil adalah penambahan masa pendidikan yang memperpanjang masa tunggu untuk berkarir bagi seorang dokter. Dikala profesi lain pada umur 30 tahun sudah mapan dan punya keluarga kecil, para dokter baru memulai karir dan baru akan berfikir untuk berkeluarga.
Kenapa tidak kurikulum ditingkat S-1 dan profesi dokter yang harus diperbaiki agar jebolan setiap Fakultas Kedokteran benar-benar siap pakai. Jika suatu output mengalami masalah bukankah seharusnya input dan prosesnya yang harus ditinjau ulang ?
Lalu kenapa sekarang Outputnya yang diuatak atik ? Lagi pula, sudah sampai sejauh mana pemerintah sebagai penyandang dana untuk penyediaan sarana berperan melengkapi sarana kesehatan ditingkat layanan primer sehingga dokter dapat memberikan layanan yang optimal bagi masyarakatnya ?
Selamat Ulang Tahun ke 66 Ikatan Dokter Indonesia. Semoga diusia yang semakin matang pengabdianmu semakin baik dan mendapat penghargaan yang seimbang.
(Simpang Empat, Oktober 2016)
No comments:
Post a Comment